ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Politik Dinasti & Kultur Feodalisme dalam Demokrasi Indonesia

Ilustrasi politik dinasti (magdalene.co)


Oleh: 

Indra Nanda Awalludin | Tim Historical Meaning 


Meski telah meninggakan sistem monarki sejak lama,  politik dinasti dirasa begitu mengakar di tengah sistem demokrasi di Indonesia. Pro-kontra dan kontroversi mewarnai anomali politik ini.


Pada pemilu serentak 2024, dunia perpolitikan Indonesia semakin dinamis. Situasi politik menjadi kian dramatis, ketika putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Hal tersebut sontak memicu kehebohan dan menimbulkan kontroversi di kalangan publik beberapa waktu lalu.

Sebagian publik menilai bahwa apa yang dilakukan keluarga Jokowi adalah praktik nepotisme dan sebuah upaya membangun dinasti politik. Namun, melansir pemberitaan Kompas yang berjudul “Ditanya soal Dinasti Politik, Jokowi: Yang Memilih Itu Rakyat” (2023), Presiden Jokowi berdalih bahwa apa yang dilakukannya bukanlah politik dinasti, sebab hasil keputusannya tetap ditentukan secara demokratis, bukan oleh sejumlah elit.

Apa sebenarnya yang dimaksud politik dinasti? Apakah politik dinasti adalah hal baru yang dilakukan oleh Jokowi dan keluarganya? Atau, politik dinasti justru telah menjadi budaya yang sudah mengakar begitu lama dalam sistem demokrasi kita di Indonesia?


Kritik para Filsuf pada Kekuasaan Turun Temurun

Mengutip artikel Fazri Maulana yang berjudul Politik Dinasti atau Dinasti Politik? (2023), politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dipegang oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dalam sistem monarki, hal tersebut merupakan sebuah kelaziman. Namun, ketika dilakukan dalam sistem demokrasi, politik  dinasti justru memicu kontroversi.

Kendati politik dinasti adalah hal yang lazim dalam sistem monarki, sistem tersebut mendapatkan berbagai suara kritik. John Locke, filsuf Inggris, dan Immanuel Kant, filsuf Jerman, menjadi dua tokoh utama pengkritik politik dinasti. Locke, yang hidup dalam kekuasaan monarki Inggris, melancarkan serangan terhadap monarki absolut. Ia juga menjadi pioner pemerintahan berlandaskan demokrasi.

Dalam buku Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell (2014), sebagai upaya mengkritik monarki absolut, John Locke menulis dua karya yang diberi judul yang sama, Treatise on Government. Risalah ini ditujukan untuk menanggapi karya Sir Robert Filmer, seorang pendukung monarki absolut, yang berjudul Patriarcha.

Filmer mengatakan bahwa kekuasaan seorang raja diwariskan dari Nabi Adam, sebagai manusia pertama di dunia, atas perkenan Tuhan. Oleh karenanya, Filmer beranggapan bahwa sang raja memiliki hak suci dan kekuasaan ilahiah. Locke menanggapi argumen Filmer dengan mengatakan bahwa kekuasaan bersifat temporal. Karena itu, pewarisan kekuasaan politik adalah sesuatu yang ilegal.

Immanuel Kant, sebagaimana Locke, juga seorang pendukung demokrasi. Hans Fink, dalam buku Filsafat Sosial (2003), mengatakan bahwa Kant memandang dinasti politik sebagai sebuah penyimpangan. Namun, agaknya Kant melontarkan kritik terhadap monarki absolut, karena kemudian ia mengatakan bahwa monarki konstitusional memiliki manfaat yang besar.

Jika politik dinasti adalah sesuatu yang dipersoalkan dalam sistem pemerintahan monarki, tidak heran jika hal tersebut ditentang dan menjadi kontroversi dalam sistem demokrasi. Kalau terus dibudayakan, maka politik dinasti akan berpeluang menciptakan penguasa yang demagogis dan otoriter.

John Locke (oll.libertyfund.org)

Kultur Feodal yang Sudah Mengakar

Indonesia, meski menjadi salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, tetap membudayakan dinasti politik atau kekuasaan secara turun-temurun. Hal tersebut, barangkali, merupakan kultur feodal yang diwariskan dari sistem pemerintahan pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam yang berlandaskan azas monarki.

Sri Margana, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Historia yang berjudul “Riwayat Dinasti Politik” (2020), mengatakan bahwa politik dinasti bukan hanya sebuah fenomena semata. Ia sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Menurutnya, kultur feodalisme di Indonesia sudah diterapkan sejak lama, dan diterapkan dalam hampir setiap kerajaan Hindu-Buddha maupun Islam. Tradisi ini, meski telah melewati perjalanan sejarah yang panjang, sulit dihilangkan.

Sri Margana juga mengatakan bahwa terdapat jurang antara jalan politik yang dipilih oleh bangsa Indonesia modern dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang yang menjalankannya. Sistem pemerintahan mungkin saja demokrasi, tetapi secara kultural, masih sangat feodal. Hal tersebut tentunya berbenturan dan menjadi kontradiktif.

Pandangan lain dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Conversation berjudul “Dinasti politik marak di negara demokrasi: apa dampaknya dan bagaimana menghindarinya?” (2023), menyebutkan bahwa politik dinasti adalah konsekuensi dari prinsip demokrasi itu sendiri. Prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan kepada setiap orang untuk memiliki kesempatan menduduki kekuasaan tampaknya menjadi bumerang bagi sistem tersebut.

Praktik politik dinasti yang merupakan warisan dari sistem feodal di masa lalu, masih dilestarikan oleh pejabat-pejabat Indonesia modern. Mengutip Greame Acton dalam artikel berjudul Asia’s Political Dynasties: Indonesia (2023), dinasti telah menjadi ciri politik Indonesia sejak pasca-kemerdekaan. Bahkan, Sukarno yang berjanji akan memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), justru malah membiarkan praktik tersebut memiliki ruang untuk berkembang.

Pada masa pemerintahan Sukarno, KKN justru malah menjamur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin daerah maupun anggota DPR yang berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh dan kekuasaan politik. Praktik tersebut semakin tumbuh subur, ketika terjadi transisi kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru.

Meski praktik politik dinasti dan KKN bukanlah hal baru, tetapi ia semakin menonjol pada era Orde Baru. Kekuasaan Suharto yang membawa serta keluarganya masuk ke lingkaran politik, tentunya menjadi sorotan. Jabatan Menteri Sosial tahun 1998, sebagai contoh, dipegang oleh putrinya sendiri, Siti Hadiati Rukmana. Jabatan strategis lainnya juga dikuasai oleh kerabat Suharto.

Gejala dinasti politik dapat dilihat dalam perpolitikan Jokowi masa kini. Ketika Jokowi berkuasa untuk kedua kalinya, keluarganya ada yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, ketua umum partai, dan wali kota. Bisa dikatakan, Jokowi meneruskan kultur feodal yang telah diwariskan sejak lama.

Politik dinasti ini bukan hanya terjadi dalam tingkat nasional, tetapi juga regional. Artinya, praktik tersebut terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Di taraf daerah, politik dinasti yang begitu kental dan menonjol terlihat di Provinsi Banten.

Menurut Winda Roselina Effendi dalam artikel Dinasti Politik dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten (2018), menyebutkan bahwa Ratu Atut Choisyah yang menjabat sebagai Gubernur Banten periode 2007-2012, memiliki 9 anggota keluarga yang masing-masing juga menduduki kursi pemerintahan. Diantaranya yakni sang suami yang menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota Serang, dan beberapa anggota keluarga lainnya. 

Menurut Windah, praktik politik dinasti di Banten memang sengaja dirancang, untuk memungkinkan keluarganya dapat terjun ke dunia politik. Dalam hal ini, Ratu Atut Choisyah bukan hanya bertindak sebagai Gubernur Banten, tetapi sekaligus patron bagi keluarganya. Dapat dilihat dari banyaknya anggota keluarga sang Gubernur yang menduduki jabatan pemerintahan legislatif maupun eksekutif.

Banten hanyalah salah satu contoh dari daerah yang melakukan praktik politik dinasti. Pada realitanya, praktik kekuasaan turun temurun ini memang sudah menyebar, baik di kalangan atas maupun bawah. Banyak sekali pejabat yang melakukan aji mumpung, dengan memasukkan kerabatnya ke dalam pemerintahan demi membangun ”kerajaan keluarga”.

Kendati praktik politik dinasti memang sah secara demokrasi, tetapi lama kelamaan praktik tersebut jutsru akan mengikis nilai-nilai demokrasi sendiri. Hal ini karena kompetisi hanya terjadi diantara kalangan keluarga elit semata, sehingga orang-orang yang tidak punya privilege akan sulit untuk dapat melenggang ke kursi kekuasaan.


Pro Kontra Politik Dinasti

Kendati politik dinasti menimbulkan kritik, ia juga memantik suara dukungan. Sebagian kalangan menilai bahwa politik dinasti yang dilakukan Jokowi adalah hal yang lazim dan masih sesuai dengan prinsip demokrasi, yang menjamin setiap orang untuk memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Dalam skripsi berjudul Politik Dinasti di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Berdasarkan Putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015, Novia Handayani (2019) mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menilai pembatasan hak politik seseorang merupakan tindakan diskriminatif dan inkonstitusional. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi seakan mengamini politik dinasti di Indonesia.

Akademisi Universitas Padjajaran, Yogi Suprayogi Sugandi, mengatakan bahwa selama tidak ada peraturan yang dilanggar, politik dinasti tidak perlu dikhawatirkan. Ia lantas mengaitkannya ke dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih.

Selain itu, pengamat politik Muhammad Qodari juga mengatakan bahwa terdapat sisi positif dari politik dinasti. Sebagaimana dikutip dari artikel Republika berjudul “Ini Sisi Positif Politik Dinasti” (2013), Qodari menjelaskan bahwa politik dinasti memiliki aspek positif, karena sosok yang tampil sebagai calon pemimpin sudah lama dikenal masyarkat, dan telah menjalani pendidikan politik dalam keluarganya.

Qodari mengatakan bahwa karena calon pemimpin tersebut sudah mengenyam pendidikan politik, artinya ia sudah memiliki modal politik. Menurutnya, sosok pemimpin yang dihasilkan dari dinasti politik, telah memiliki rekam jejak yang panjang sesuai dengan perjalanan keluarganya.

Sementara itu, suara kontra datang dari pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun. Dalam pemberitaan Kompas.com berjudul “Soroti Pernyataan Prabowo dan Jokowi soal Dinasti Politik, Pengamat: Republik Ini Mundur Kembali ke Abad Ke-18” (2023), Ubedillah mengatakan praktik politik dinasti telah membawa republik Indonesia seolah mundur kembali pada abad ke-18, meskipun telah tampil dengan wajah baru dalam bentuk pemilu. Menurutnya, penolakan terhadap praktik politik dinasti adalah hal yang penting, karena siklus kekuasaan dalam praktik tersebut hanya bersifat sirkular.

Ubedillah juga mempercayai riset bahwa kekuasaan politik yang diwariskan secara turun temurun, cenderung korup dan berpotensi otoriter. Ia bahkan menyebut praktik politik dinasti ini sebagai dynastic democracy, yakni suatu pemerintahan demokrasi yang melaksanakan pemilu, tetapi yang selalu terpilih adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pemimpin sebelumnya.

Akademisi Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, justru memandang politik dinasti memiliki dampak buruk terhadap demokrasi. Dwipayana, sebagaimana dikutip melalui artikel Pengaruh Dinasti Politik terhadap Perkembangan Demokrasi Pancasila di Indonesia yang ditulis Alvina Alya Rahma dkk. (2022), mengatakan bahwa politik dinasti menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan melemahkan fungsi kontrol kekuasaan.

Lebih lanjut, Ari Dwipayana juga menilai praktik politik dinasti telah menjadikan partai sebagai mesin politik semata. Dengan kata lain, partai politik hanya digunakan demi tujuan pragmatis, yakni meraih kekuasaan. Melihat dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik politik dinasti, Ia menilai bahwa praktik tersebut telah menciptakan lingkungan demokrasi yang tidak sehat.

Terlepas dari adanya sisi positif dalam politik dinasti, tetapi sisi negatifnya jauh lebih besar. Dari sini perlu adanya kesadaran dari masyarakat, bahwa politik dinasti bisa menjadi ancaman besar bagi demokrasi jika terus dibiarkan berkembang biak.


Rantai yang Sulit Diputus

Bagaimana memutus rantai dinasti politik di Indonesia, yang dikhawatirkan akan berujung pada oligarki politik? Sulit untuk melakukan hal tersebut. Terlebih, masyarakat Indonesia masih belum memiliki pengetahuan politik yang matang, sehingga mereka masih mendukung calon pemimpin dengan cara pandang tradisonal, layaknya memilih seorang penguasa lokal. Bagi mereka, calon pemimpin dilihat dari kebiasaan keluarga ketika memilih alih-alih melihat visi serta misi kandidat.

Mochtar Lubis bahkan menyebut salah satu ciri dari manusia Indonesia adalah berjiwa feodal. Dalam buku berjudul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggung jawaban) (1988[1977]), Mochtar Lubis mengatakan bahwa salah satu tujuan dari revolusi kemerdekaan Indonesia, adalah membebaskan masyarakat Indonesia dari belenggu feodalisme.

Sayangnya, tujuan tersebut tidak tercapai. Menurut Mochtar Lubis, feodalisme malah semakin berkembang di dalam tubuh masyarakat Indonesia, baik di kalangan atas maupun bawah. Meski sudah tampil dalam bentuk-bentuk baru, akan tetapi hubungan maupun sikap feodal masih hidup dalam manusia Indonesia.

Jika mentalitas feodal yang menjadi sebab bagi politik dinasti terus dibiarkan tumbuh subur, kematian demokrasi akan menjadi hal yang niscaya. Kendati sah dalam sistem demokrasi, secara perlahan-lahan, politik dinasti akan menabrak demokrasi itu sendiri, serta membuka gerbang bagi sistem feodalisme untuk kembali tumbuh subur di Indonesia.

Namun, meski mentalitas feodal sulit untuk dihilangkan, bukan berarti mustahil. Hal ini perlahan-lahan bisa hilang jika masyarakat sudah memiliki kesadaran dalam hal memilih pemimpin. Pemimpin sejati pada dasarnya lahir karena memang teruji kapasitas dan kapabilitasnya, bukan lahir karena keistimewaan berkat garis keturunan atau hubungan kekerabatan.


Post a Comment

0 Comments